Acara Diskusi DBH yang Digaungi Menko Bidang perekonomian |
Kegiatan ini membahas tentang penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) sektor industri ekstraktif, DBH
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu,DalamPembahasan isu DBH sangat terkait dengan prinsip transparansi yang selama ini digaungkan oleh Extractive Industries
Transparency Initiative (EITI) sebagai standar global transparansi industri ekstraktif yang saat ini telah dilaksanakan di 51 negara, termasuk Indonesia.
EITI terus mendorong agar penyaluran dan pemanfaatan DBH dapat dilakukan secara transparan agar dapat meningkatkan pembangunan daerah, khususnya pada daerah-daerah kaya
sumber daya alam yang selama ini belum dapat secara maksimal memanfaatkan kekayaan alam bagi kesejahteraan masyarakat.
“Bagi banyak daerah, penerimaan dari DBH migas dan minerba merupakan kontributor terbesar pendapatan asli daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Karena itu, sejalan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang dianut
EITI, kami sangat memprioritaskan agar isu DBH dan beberapa isu lainnya dapat ditindaklanjuti pembahasannya”, kata Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Kemenko Bidang Perekonomian, Montty
Girianna dalam sambutannya.
Penyaluran DBH pada dasarnya bertujuan untuk menyeimbangkan antara pembangunan nasional dengan pembangunan daerah, sekaligus untuk mengurangi ketimpangan antara daerah penghasil dan daerah bukan penghasil sumber daya alam.
Walaupun daerah penghasil memperoleh porsi yang lebih besar dibandingkan dengan daerah-daerah bukan penghasil, namun banyak daerah penghasil yang masih tidak
puas dengan pembagian DBH. Beberapa isu yang selalu menjadi pertanyaan banyak pihak antara lain mengenai mekanisme dan besaran alokasi DBH bagi masing-masing
daerah, proses penyaluran, dan isu mengenai kurang bayar dan lebih bayar .
Walaupun regulasi terkait DBH sudah diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan turunannya, beberapa pihak masih menganggap pembagian DBH dari sumber daya alam memiliki kelemahan, salah satunya karena pengaruh fluktuasi harga minyak dunia dan harga-harga komoditi lainnya, serta nilai tukar rupiah.
" Ketidakpastian ini kerap membuat daerah salah menentukan perkiraan berapa DBH yang diterima,
sehingga mengganggu perencanaan anggaran Pemerintah Daerah.
Seperti Kasus lain yang terjadi di Bojonegoro, di mana wilayah kabupaten yang dekat dengan lokasi
sumur dan menanggung dampak sosial dari eksploitasi sumber daya alam tidak menerima alokasi DBH karena kabupaten tersebut berbeda provinsi dengan lokasi sumur.
Sedangkan wilayah yang jaraknya jauh dan tidak secara langsung terkena
dampak buruk dari eksploitasi alam mendapatkan alokasi DBH karena satu provinsi dengan lokasi sumur.
Hal ini semakin mendorong upaya transparansi untuk memperbaiki tata kelola mekanisme penyaluran DBH.
Dalam paparannya Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Riau, Ahmad Hijazi
mengatakan “Pemerintah Provinsi Riau meminta diberi akses untuk mengetahui komponen pengurang dan pungutan lainnya dalam perhitungan DBH Migas.
Penyaluran DBH yang tidak tepat waktu sangat menghambat dan perhitungan lebih salur dan kurang salur belum transparan.” Ahmad juga menambahkan bahwa sudah ada
tuntutan dari rencana aksi Koordinasi Supervisi dan Pencegahan (Korsubgah) KPK Bidang Energi, untuk membuka data terkoneksi dari SKK Migas, Kementerian ESDM dengan Kementerian Keuangan.
EITI berupaya mendorong transparansi mekanisme alokasi dan penyaluran DBH agar terjadi kesaling percayaan („trust”) antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat.
Laporan EITI tahun 2015 yang sudah dipublikasikan, telah mencantumkan
informasi DBH sampai tingkat kabupaten.(hany/sek EITE)
Editor:hen