Kepri News, Malang - Pemutaran film Senyap atau The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer di Warung Kelir, Kota Malang, dihentikan.
Dihentikannya film karena ada seorang pria bernama Haris budi Kuncahyo dari LSM Pribumi berteriak-teriak. Pasca menuntut penghentian paksa penanyangan film berdurasi 85 menit itu, Haris diberi kesempatan bergabung dalam diskusi.
Saat itu, Haris mengaku sangat mengkhawatirkan, jika film tersebut akan memicu masalah baru. "Lebih baik, kita bersama-sama memerangi narkoba. Daripada menonton film ini," katanya dalam diskusi, Rabu (10/12/2014).
Haris yang diberi kesempatan berbicara, terus komat-kamit mengecam dampak dari pemutaran film. Penonton sebelum kecewa dengan sikap Haris akhirnya terpaksa mendengarkan pernyataannya.
Haris sendiri awalnya merangsek masuk ke dalam warung, dimana saat itu penuh dengan pengunjung yang akan menyaksikan film dokumenter tersebut.
Baru berjalan beberapa menit Haris kemudian berdiri dan berteriak meminta operator mematikan penanyangan.
Namun tidak lama berjalan, warga mendatangi Warung Kelir dan meminta diskusi bubar. Kegiatan tersebut dianggap warga sudah meresahkan.
Aparat keamanan berbaju bebas sejak awal sudah bersiaga di lokasi. Setiap kegiatan tidak luput dari pengawasan.
Pengelola Warung Kelir Vivi mengaku hanya menerima sewa tempat dari panitia.
Dirinya tidak mengetahui isi dari kegiatan yang dihentikan. "Kami ini hanya menerima sewa tempat, tidak tahu apa-apa," katanya saat dimintai keterangan warga dan aparat keamanan.
Warga sudah kesal dengan adanya kegiatan pemutaran film dan diskusi meminta semua pengunjung meninggalkan warung. "Ini kafe tidak ada ijinnya, dan justru membuat resah. Kami meminta semua bubar," tegas Ketua RW setempat Gunarno terpisah.
Koordinator Lembaga Bhineka, Andry Juni menyebut permintaan untuk tidak memutar film Senyap sudah diterima sebelumnya. "Ada yang mendatangi kami agar tidak memutar film," katanya kepada wartawan.
"Kami duga akan dihentikan. Karena dari aparat militer setempat sudah datang. Bersamaan kami mendapatkan informasi warga akan menghentikan pemutaran film," sambungnya.
Padahal, kata Andry film dokumenter ini mengangkat sisi kemanusiaan dan rekonsiliasi keluarga korban dan pelaku. "Dalam film tidak ada menyudutkan siapapun," sambungnya.
Dihentikannya film karena ada seorang pria bernama Haris budi Kuncahyo dari LSM Pribumi berteriak-teriak. Pasca menuntut penghentian paksa penanyangan film berdurasi 85 menit itu, Haris diberi kesempatan bergabung dalam diskusi.
Film Senyap di Malang Dihentikan, Ini Alasannya |
Haris yang diberi kesempatan berbicara, terus komat-kamit mengecam dampak dari pemutaran film. Penonton sebelum kecewa dengan sikap Haris akhirnya terpaksa mendengarkan pernyataannya.
Haris sendiri awalnya merangsek masuk ke dalam warung, dimana saat itu penuh dengan pengunjung yang akan menyaksikan film dokumenter tersebut.
Baru berjalan beberapa menit Haris kemudian berdiri dan berteriak meminta operator mematikan penanyangan.
Namun tidak lama berjalan, warga mendatangi Warung Kelir dan meminta diskusi bubar. Kegiatan tersebut dianggap warga sudah meresahkan.
Aparat keamanan berbaju bebas sejak awal sudah bersiaga di lokasi. Setiap kegiatan tidak luput dari pengawasan.
Pengelola Warung Kelir Vivi mengaku hanya menerima sewa tempat dari panitia.
Dirinya tidak mengetahui isi dari kegiatan yang dihentikan. "Kami ini hanya menerima sewa tempat, tidak tahu apa-apa," katanya saat dimintai keterangan warga dan aparat keamanan.
Warga sudah kesal dengan adanya kegiatan pemutaran film dan diskusi meminta semua pengunjung meninggalkan warung. "Ini kafe tidak ada ijinnya, dan justru membuat resah. Kami meminta semua bubar," tegas Ketua RW setempat Gunarno terpisah.
Koordinator Lembaga Bhineka, Andry Juni menyebut permintaan untuk tidak memutar film Senyap sudah diterima sebelumnya. "Ada yang mendatangi kami agar tidak memutar film," katanya kepada wartawan.
"Kami duga akan dihentikan. Karena dari aparat militer setempat sudah datang. Bersamaan kami mendapatkan informasi warga akan menghentikan pemutaran film," sambungnya.
Padahal, kata Andry film dokumenter ini mengangkat sisi kemanusiaan dan rekonsiliasi keluarga korban dan pelaku. "Dalam film tidak ada menyudutkan siapapun," sambungnya.